Cerita ini saya
dapatkan dari email teman, bagus maknanya… Ini formatnya saja masih dalam
bentuk email.
Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi. Tapi diantara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni.
Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, di mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu didekat foto.
Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang . Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada
ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.
Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu.
Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.
Mata nya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: “Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?”
Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri.
Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh dikota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar dan kantor
catatan sipil.
Ia membentuk yayasan -yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badansosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.
Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah.
Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik.
Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.
Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.
Pagi, siang dan sore ia berdoa: “Tuhan, ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya, temukan saya dengan ibu saya”.
Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kkkabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km darikota
mereka. Sekali melihat, mereka tahu
bahwa wanita yang separoh buta itu, yang
kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam
foto.
Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingatkota dan bahkan potongan
jalan dimana ia mengincar gadis kecil
itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu
sejumlah uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik.
Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.
Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. “Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi.”
Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggirankota
yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak
kecil tanpa baju bermain-main ditepi
jalan. Dari jalanan pertama, mobil
berbelok lagi kejalanan yang lebih
kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi. Semakin
lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan. Tubuh Serrrafona
gemetar, ia seolah bisa mendengar
panggilan itu. “Lekas, Serrafonna, mama menunggumu, sayang”.
Ia mulai berdoa “Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja”.
Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: “Tuhan beri saya sebulan saja”.
Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya , dan ia mulai menangis: “Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan “.
Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua
dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.
Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulansberhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain.
Dari kanan kiri muncul pengemis- pengemis yang segera memenuhi tempat itu.
“Belum bergerak dari tadi.” lapor salah seorang.
Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun. Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.
“Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu .”
Serrafona memandang tembok dihadapann ya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kaki nya dan ingat ketika ia belajar berjalan.
Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.
“Tuhan, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya,beri kami sehari…… Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini
hidup saya amat bahagia….Jadi mama tidak menyia-nyiakan saya”.
Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda.
“Mama.. ..”, ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam - antara waras dan tidak - dan tiap hari - antara sadar dan tidak – kini menjadi kenyataan.
Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas. Perlahan ia membuka genggaman tangann ya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di ada mamanya.
“Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu…Mama…”
Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: “Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan….. satu jam saja…. …satu jam saja…..”
Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.
Teman….mungkin saat ini kita sedang beruntung.
Hidup ditengah kemewahan dan kondisi berkecukupan. Mungkin kita mendapatkannya dari hasil keringat sendiri tanpa bantuan orang tua kita. Namun yang perlu kita sadari, bahwa orang tua kita senantiasa berdoa untuk kita, meski itu hanya di peraduan
Los
Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota
sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota .Ada sebuah kisah yang
menyebabkan jalan itu begitu dikenang orang, dan itu dimulai dari kisah seorang
pengemiswanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu
nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia
bukan penduduk asli disitu, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung
halamannya. Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat
kota terlalu berat untuk mereka, dan belum setahun mereka di kota itu, mereka
kehabisan seluruh uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa mereka tidak
tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak sepeserpun uang ada dikantong.
Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang berumur 1 tahun.
Dalam
keadaan panik dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya,
dan akhirnya tiba di sebuah jalan sepi dimana puing-puing sebuah toko seperti
memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh. Saat itu angin Desember bertiup
kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat
dibawah atap toko itu, sang suami berkata: “Saya harus meninggalkan kalian
sekarang. Saya harus mendapatkan pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti
kita akan tidur disini.”
Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali.Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika. Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yangmalang
terus menunggu kedatangan suaminya, dan bila malam tidur di emperan toko itu.
Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu,orang-orang yang lewat
mulai memberi mereka uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6 bulan
berikutnya.
Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja.Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat.”Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita”.
Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan.Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anak nya dengan hati-hati di dalamnya.Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti. Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju kepabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit. Begitu lah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusatkota . Di situ mereka
mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir
rambutnya dan membawanya ke sebuah rumah mewah dipusat kota . Di situ gadis cilik itu dijual.
Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa
punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun. Mereka
memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan mereka memanjakannya dengan amat
sangat. Di tengah-tengah kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh dewasa.
Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga,
menulis puisi dan bermain piano.Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas
atas, dan mengendarai Mercedes Benz kemanapun ia pergi. Satu hal yang baru terjadi menyusul hal
lainnya,dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat. Pada umurnya yang ke-24,
Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai
bermain piano,yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan gelar
dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian tiap pemuda, tapi cintanya
direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo. Setahun
setelah perkimpoian mereka, ayahnya wafat,dan Serrafona beserta suaminya
mewarisi beberapa perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang
diisi dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu.Menjelang
hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita
itu.Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang ayahnya yang sudah
tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja kerja ayah nya ia melihat selembar
foto seorang anak bayi yang digendong sepasang suami istri. Selimut yang
dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak
terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam.
Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia
mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri
itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak kayu
mahoni.
Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak pernah kembali.Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika. Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang
Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan untuk bekerja.Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka. Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau menawarkan gula-gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat.”Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita”.
Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan.Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan anak nya dengan hati-hati di dalamnya.Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti. Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju kepabrik sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit. Begitu lah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh. Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat
Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi. Tapi diantara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni.
Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu anting-anting, di mana satunya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting itu didekat foto.
Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang . Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri. Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada
ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanyaannya, misalnya: kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.
Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu.
Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.
Mata nya basah ketika ia keluar dari kamar dan menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: “Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?”
Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri.
Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di
Ia membentuk yayasan -yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badansosial di seluruh negeri dan mencari data tentang seorang wanita.
Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah.
Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik.
Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya selama seperempat abad.
Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.
Pagi, siang dan sore ia berdoa: “Tuhan, ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya, temukan saya dengan ibu saya”.
Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka menerima kkkabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari
Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat
Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.
Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. “Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak lagi.”
Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran
Ia mulai berdoa “Tuhan, beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja”.
Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: “Tuhan beri saya sebulan saja”.
Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan mamanya , dan ia mulai menangis: “Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan “.
Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas. Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua
dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.
Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah ambulansberhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain.
Dari kanan kiri muncul pengemis- pengemis yang segera memenuhi tempat itu.
“Belum bergerak dari tadi.” lapor salah seorang.
Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun. Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.
“Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu .”
Serrafona memandang tembok dihadapann ya, dan ingat saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kaki nya dan ingat ketika ia belajar berjalan.
Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.
“Tuhan, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya,beri kami sehari…… Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25 tahun ini
hidup saya amat bahagia….Jadi mama tidak menyia-nyiakan saya”.
Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya. Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya sendiri ketika ia masih muda.
“Mama.. ..”, ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam - antara waras dan tidak - dan tiap hari - antara sadar dan tidak – kini menjadi kenyataan.
Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas. Perlahan ia membuka genggaman tangann ya, tampak sebentuk anting-anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di ada mamanya.
“Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau bisa kita lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya, apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu…Mama…”
Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: “Tuhan maha pengasih dan pemberi, Tuhan….. satu jam saja…. …satu jam saja…..”
Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.
Teman….mungkin saat ini kita sedang beruntung.
Hidup ditengah kemewahan dan kondisi berkecukupan. Mungkin kita mendapatkannya dari hasil keringat sendiri tanpa bantuan orang tua kita. Namun yang perlu kita sadari, bahwa orang tua kita senantiasa berdoa untuk kita, meski itu hanya di peraduan
0 komentar:
Post a Comment